Brisita
Dyah Eskia
Langit air laut
terbentang luas membujur
Terlihat remang
bintang seolah kabur
Garis-garis dari
ufuk timur membesit sukma dengan membentur
Kicau burung
pagi bersahut melantun lagu
Angin dingin
menusuk ngilu
Di pucuk bukit,
berdiri megah sebuah rumah
Tinggal ayah,
ibu dan putri semata wayangnya
Hidup bahagia
dengan suasana bak alam surga
Tentram, tawa
dan canda temani mereka
Bawang Putih
begitu sebutan Sang putri
Gadis separuh
dewasa, masih lugu rupanya
Baik hati,
ramah-tamah
Tinggi semampai
dengan rambut hitam memanjang
Ayah cukup kaya,
mata orang pandang
Kebahagiaan
mulai terusik tatkala seorang wanita juga putrinya datang
Kerabat jauh
sang ibu, ia berterang
Bersikap biasa
pada awalnya
Meringankan
beban keluarga dengan sedikit bantuan dari mereka
Namun, sang anak
Bawang Merah, ia sering berkeluh kesah
‘’ Ibu bagaimana
? Kita jauh dari desa sebrang, kemari hanya untuk menjadi upik abu ?’’,
kesalnya membanting sapu
‘’ Tenanglah,
permainan belum dimulai kebahagiaan mereka tak kan lama lagi ‘’, katanya
sembari tersenyum
Berbisiklah ia
pada telinga sang anak apa yang akan dilakukan
Berubahlah
seketika wajah putrinya
Iri ternyata,
melihat kebahagiaan terpancar dari keluarga kecil yang di tinggalinya
Tiba-tiba, sang
ibu menghilang entah kemana
Bingung bukan
kepalang sang ayah dan Putih mencari
Di sebelah barat
tak tampak
Di ufuk timur
tanpa jejak
Utara, selatan
tak berpijak
‘’ Kemana wahai
istriku ? Mengapa kau tinggal aku juga putrimu ? Apa salahku padamu ? ‘’, heran
sang ayah
Putih terus
mengurung diri di bilik
Terpukul dengan
kepergian Ibundanya yang tanpa tinta pula
Lama sudah
kepergian ratu di sebuah keluarga
Tak begitu
tampauk raut wajah sedih di hati keduanya
‘’ Ibunda Putih
telah lama pergi, aku berpikir ia masih butuh seorang ibu untuk menjaga dan
merawatnya selagi aku ke kota ‘’
‘’ Iya mas, aku
siap menjaga putrimu, sama sekali tak berat bagiku merawat dua orang putri jika
kamu pergi ke kota ‘’, jawab ibu Merah dengan tersenyum
‘’ Ya, kamu
benar, aku lega sekarang ‘’
Menikahlah
mereka berdua
Kini Putih
memanggil bibi jaunya Ibu, ya…ibu tiri
Dan Merah
menjadi saudarinya
‘’ Putih ayah
hendak pergi ke kota, cukup lama mungkin. Kamu jaga diri baik-baik jangan
membantah ibumu, bantu dia juga saudarimu ‘’,
Sembari mengusap kepala sang anak lalu
menciumnya
‘’ Baik ayah,
lekas pulang dan hati-hati ‘’, diiringi anggukan ayahnya
‘’ Ibu jaga
anak-anak ya ? ‘’
‘’ Iya ayah,
ayah hati-hati ?’’
‘’ Baik, kamu
Merah rukunlah bersama Putih jangan saling menyakiti ia sekarang menjadi
saudarimu. ‘’
‘’ Baik ayah ‘’
‘’ Ayah pergi
terlebih dahulu, kalian baik-baik di rumah, jika pekerjaan rampung sudah aku akan segera pulang. ‘’, pesan terakhir di atas
kudanya
Semua melambai
tangan iringi kepergian sang ayah
Tanpa sadar air mata
Putih menetes
Ibu dan
saudarinya telah masuk, hanya ia di luar melihat ayahnya
Kini Putih
sendiri, tersisa ibu dan saudari tiri yang menemani
Pagi mulai
menyapa, Putih belum beranjak dari tidur
Tiba-tiba pintu
terbuka dengan keras
Segayung air
melayang mengenai wajahnya
Terbangun kaget
sembari menggigil
‘’ Apa yang kamu
lakukan ? Cepat bangun bereskan rumah, mencuci, lali memasak ‘’, perintah
ibunya dengan nada marah
‘’ Iya cuci
bajuku sampai bersih, jangan lupa setrika agar halus ‘’, melempar setumpuk baju
Putih terpaku
heran melihat ibu dan saudari tirinya
‘’ Tunggu apa
lagi ? Ayo kerjakan ! ‘’, tegas ibunya
‘’ I…iya ‘’,
masih terheran
Kini kotor
tengah diusir dari lantai rumahnya
Ditendang ember
oleh Merah, airpun tumpah
Bertambahlah
pekerjaan Putih
‘’ Ibu dan Merah
ingin mengunjingi festival membeli kain, kamu jaga rumah, Ibu pulanh makanan
harus siap, awas kamu ! ‘’
Putih mengangguk
sambil tertunduk
‘’ Bereskan itu
semua ‘’, kata Merah menendang ember
Keluarlah mereka
dari pintu
Menetes tanpa
henti air mata Putih, menangis pilu
‘’ Ibu, ibu
kemana ? mengapa ibu tinggalkan Putih ? Mereka ternyata bermuka dua, baik di
depan yah saja, jika ayah tiada begini rupanya. ‘’
Hari menjelang
petang, ibu dan Merah telah pulang
‘’ Makanan mana
? ‘’,
‘’ Sudah siap ‘’
‘’ Anak rajin
‘’’, ejek saudarinya
‘’ Ayo Merah
kita makan. ‘’
Merah
mengangguk, saat Putih hendak duduk di meja makan
‘’ Eh, mau apa
kamu ? ‘’, tanya Merah
‘’ Ikut makan ‘’
‘’ Tidak boleh,
kamu baru boleh makan setelah ibu dan Merah selesai, ayo sana ke dapur ! ‘’,
‘’ Tapi…’’
‘’ Ah, sudah
sana, tidak dengar apa kata ibu.’’, mendorong Putih
Benar saja ia
makan setelah Ibu dan saudarinya selesai
Jika mencuci
baju ia biasa ke sungai
Ada sumur
memang, namun mereka memintanya, entah apa alasanya
Semakin lama
kelakuan mereka semakin menjadi
Hingga suatu
hari datang sorang laki-laki
Teman ayah Putih
rupanya, ia menemui di taman depan
‘’ Ada apa Paman
datang kemari ? Ayah m hendaana ? ‘’
‘’ Em,
Putih…begini…em itu ayahmu…em ‘’
Mulutnya ragu
hendak bercerita, terlihat cemas pula raut mukanya
‘’ Ada apa
dengan ayah Paman ? Ayah baik-baik saja bukan ? ‘’
‘’ Begini, Ayahmu
sakit keras di kota. Saat saya hendak memberitahumu Ayah melarangku. Sekarang
ia sudah tiada, karena jarak yang cukup jauh Paman memutuskan untuk
memakamkannya di kota. Ini pakaian miliknya juga barang-barangnya ‘’
‘’ Paman sedang
tidak serius bukan ? ‘’, tak percaya
‘’ Paman harap
juga begitu Putih, tapi kenyataan saat ini adalah sebaliknya, kamu sabar ya ?
Ayahmu telah tenang di sana, Paman permisi ‘’, tak tega
Putih menangis,
dipeluknya pakaian yang ia genggam
Tanpa Putih
ketahui Ibu dab Merah mendengar percakapannya
Mereka tertawa
puas, tak ada lagi penghalang demi menguasai harta milik keluarganya
Larilah ia ke pinggir
sungai merenungkan semua
Dari dalam air
muncullah seekor ikan mas
Kulitnya
bercahaya diterpa sinar Surya
‘’ Wahai gadis
cantik, mengapa kau menangis ? Tangismu terdengar sampai dasar sungai ini ‘’
‘’ Kamu..kamu
dapat berbicara ? ’’, berkerut dahinya dengan heran
‘’ Jangan takut,
aku tak kan menyakitimu, aku ingin menjadi temanmu, namaku Bibi Sumbi, sipapa
namamu ? ‘’
‘’ Aku Bawang
Putih ‘’
‘’ Oh, nama yang
indah, mengapa kau menangis ? ‘’
Putih
menceritakan apa yang terjadi padanya
Tanpa ia sadari
semenjak kepergian Sang Bunda, terdapat merpati putih
Yang selalu
mengikuti kemana ia pergi
Semenjak saat
itu ia sering bermain terlebih dahulu di sungai bersama ikan mas sahabatnya
Tentu tanpa sepengetahuan
Ibu dan saudarinya
Tak pernah
terlambat pulang karena bermain
Sebab cuciannya
akan cepat rampung berkat kekuatan
sahabatnya
Tak muncul rasa
curiga pada Ibu dan Merah
Rasa sepinya
telah sirna
Suatu malam
Merah dan Ibu tengah bersantai menikmati hujan
Tiba-tiba
lompatlah seekor katak di kaki Merah
Semua kaget,
diambilnya sapu oleh Ibu
Menerbangkan
pukulan pada si katak, terlukalah ia, terlempar ke halaman
Tak lama Putih
keluar, terdengar suara katak terdengar sangat kesakitan
Diambillah katak
dengan rasa iba, muncul keinginan untuk merawatnya
Tersimpanlah si
katak dalam kotak besar
Suatu hari saat
mencuci hanyutlah semua pakaian terbawa arus
Bingung
menghampiri Putih, tak berani ia pulang tanpa cucian
Dalam paniknya
ia teringat akan sahabat, dipanggilah ia
‘’ Ada apa kau
memanggilku Putih ? ‘’
‘’ cucianku
hanyut terbawa arus. Ibu dan saudariku pasti marah jika aku pulang tanpanya.
‘’, cemas
‘’ Jangan takut,
aku tahu dimana berlabuhnya cucianmu, naiklah ke punggungku akan ku antar kau
ke sana. ‘’
‘’ Apa aku tidak
salah dengar ? Tubuhmu kecil mana mingkin dapat menopangku ?’’
‘’ Tentu bisa,
lihatlah. ‘’
Ikan mas sontak
berubah menjadi besar, melebihi ukur pada umumnya
Tanpa berpikir
lama Putih naik ke punggung sahabatnya
Diantarlah ia
sampai di sebuah gubuk kecil reyot di atas bukit
‘’ Disanalah cucianmu,
semoga berhasil.’’, beanjak pergi
‘’ Terimakasih
ikan mas. ‘’
Putih naik ke
atas menghampiri rumah itu
Mengetuk pintu,
pemilik mempersilahkannya masuk
Seorang nenek
tua, dengan tubuh penuh luka, aroma amis tercium dari badannya
Namun, Putih tak
takut dan mengatakan niatnya
Benar saja,
cucian miliknya disimpan oleh sang nenek
‘’ Jika kamu
ingin cucianmu kembali, tinggallah bersamaku selama satu minggu, bantulah aku
disini ‘’
‘’ Baik nek ‘’,
patuh Putih
Hari demi hari
berganti
Ia membantu sang
nenek tanpa pamrih
Mencuci,
menyapu, memasak tanpa letih
Hingga hari ke
tujuh, cuciannya kembali dan ia berpamit pergi
‘’ Tunggu,
pilihlah salah satu dari labuku untuk kau bawa pulang. Anggap saja ini balas
budiku ‘’
‘’ Tidak perlu
nek, aku mengerjakannya dengan tulus. ‘’
‘’ Kau memang
anak baik, ambillah satu. Jika tidak uaku tak kan nyenyak tidur, ayolah ! “
Diambillah satu
labu oleh Putih
‘’ Mengapa kau
memilih labu kecil ? Ambillah yang besar isinya jauh lebih banyak. ‘’
‘’ Ini sidah
lebih dari cukup nek, lagi pula aku mudah membawanya. ‘’
Sang nenek
tersenyum dan Putih segera pamit
‘’ Ini dia,
kemana saja kamu ? ‘’, tanya Merah
‘’ Iya kamu
sengaja meninggalkan rumah ? ‘’, sahut Ibunya dengan marah
Putih
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
‘’ Bohong kamu,
eh apa ini ?’’ mengambil labu di antara pakaian
‘’ Wah segar
pasti, terik begini makan labu. ‘’, wajah Merah mendadak sumringah
‘’ Kamu benar,
Putih ambilkan Ibu pisau ! ‘’
Segeralah Putih
ke dalam rumah
Setelah labu
terbelah, kaget tampak wajah
Emas permata
tercipta cahaya silaukan mata
‘’ Ibu kita kaya
‘’
‘’ Kamu benar
Merah, dari mana kamu dapatkan semua ini ? ‘’, tanya Ibu dengan girang
Ceritalah Putih
kepadanya
‘’ Kita haruske
sana, ya kita harus pergi kesana ibu. ‘’, rengek Merah
Dipanggil ikan
mas sahabat Putih untuk mengantarnya
Tak di atas
punggung melainkan di dalam mulut mereka di angkut
Sesampainya di
tempat tujuan dilemparlah mereka
Tak peduli, yang
ada hanyalah harta
Sama dengan
Putih sebelumnya, tinggal pula tujuh hari
Niat mereka tak
untuk membantu sang nenek
Ia tahu, Merah
dan Ibunya tak lulus, cara kerja merekapun tampak
‘’ Ibu itu labu
yang kita cari, ayo kita ambil lalu pergi aku sudah tak tahan.’’
‘’ Baiklah.’’
Diambil segera
labu paling besar
Mereka pergi
tanpa terimakasih nahkan satu patah kata
‘’ Manusia
tamak.’’, gumam nenek lirih
Sesampai di
rumah dibelah si labu
Namun, bukan
emas permata macam lalu
Melainkan seekor
ular besar dengan hewan-hewan penuh bisa
Diseranglah ibu
dan anak tamak
Tak dibunuh
memang, hanya buta
Dirawatlah
mereka oleh Putih
Saat bercerita
pada sahabat apa yang menimpa Ibu dan saudari
Ikan mas
melempar sebutir benih dan memerintah untuk menanam
Benihpun
ditanam, keesokan harinya tumbuh pohon
Anggur ternyata
ia dengan lebat buah di setipa rantingnya
Putih bercerita
dan menyuruh Ibu dan Merah meraba anggur ranum itu
Saat mereka
memasukkan buah ke dalam mulut
Seolah terbuka
pintu dalam mata mereka, hingga dunia terlihat kembali
Berubah sudah,
piker Putih setelah ujian
Rupanya
pelajaran tak didapat mereka
Tamak tetaplah
sifatnya
Dijual oleh Ibu
dan saudarinya sebutir anggur pada orang yang sakit
Dengan harga
selangit tentunya
Sembuh memang
setelahnya
Banyak sudah
uang tergenggam tangan, hingga seorang wanita paruh baya menyodorkan uang
‘’ Apa ini ? Kamu
piker anggur ini murah ?’’, tegur Ibu agak marah
‘’ Tapi hanya
ini yang saya punya, tolonglah.’’, pintanya iba
‘’ Tidak bisa
pergi sana !’’
‘’ Ibu, Merah
biarkan wanita ini mendapat anggur kasihan dia.’’, hendak meraih anggur dengan
tangan
‘’ Apa yang kamu
lakukan ? Ayo Putih masuk !’’
‘’ Tetapi..’’
Mata ibunya
terlihat seram tak berani ia melanjutkan
Ia masuk dengan
rasa kasihan, pergilah wanita dengan kecewa
Berita pohon
anggur sampai ke desa-desa
Angin membawanya
sampai ke telinga seorang Lurah sebrang
Tengah sakit
keras terbaring lemas
Pegawainya
mengunjungi rumah Putih
Setelah memakan
buah, segarlah badan Sang Lurah
Ia bertanya
apakah sang pegawai telah membelinya
‘’ Sudah tuan,
saya tanam di halaman.’’, dengan harga mahal tentunya
Tak hanya unag
yang didapat namun, juga kata saudara
Demi menepis
sepi yang ia derita
‘’ Sudah lama
aku sakit. Ini terjadi semenjak putra dan istriku pergi entak kemana. Berbagai
macan obat saya coba, nihil hasilnya. Tapi hanya dengan anggur ini badan saya
terasa ringan.’’, jelas Lurah, nada separuh iba
‘’ Anggur ini
memang mujarab Pak.’’, sahut ibu
‘’ Iya, memang,
siapa yang menanamnya ?’’, bangkit ia
‘’ Sa..’’,
terpotong ucapan Putih karena cubitan mendarat di kakinya
Ancaman terlihat
di wajah Ibunya, ia paham
‘’ Saya Pak, iya
kan Putih ?’’. jawab Merah
‘’ Iya Pak, saya
permisi.‘’, beranjaklah pergi Putih tanpa tunggu lama
Putih pulang ke
rumah dengan sedih
Teringat ia akan
katak dalam kotak
Segera
diambillah, kagetlah ia mendapatinya dalam keadaan tak bergerak
Rasa salah
muncul dalam hatinya
Diletakkan si
katak atas meja
Dicimlah ia
karena rasa di hatinya
Kaget buka main
setelahnya
Berubah menjadi
Pangeran tampan rupawan
‘’ Jangan takut
aku berterimakasih padamu karena telah membebaskanku dari sihir.’’
‘’ Tapi
bagaimana bisa ?’’
Sang Pangeran
bercerita apa yang menimpanya
Ia adalah putra
Lurah yang membeli pohon anggur miliknya
Bibi Sumbi,
pengasuh yang tak ia ketahui mana dia berada
Dan Ibundanya
manjadi seorang nenek tua buruk rupa, sihirlah penyebab semua
‘’ Aku mengenal
mereka semua, Bibi Sumbi adalah ikan mas sahabatku, dan nenek tua itu…sepertinya
tinggal di pucuk bukit hulu sungai desa ini.’’
‘’ Bisakah kau
antarkan aku pada mereka ?’’, tanya Pangeran
‘’ Iya tentu,
mari.’’
Pergilah mereka
ke sungai, dipanggilah Bibi Sumbi, ikan mas
Bertemulah
Pangeran dan pengasuhnya
Bibi menanyakan
apakah Putih masih menyimpan anggur yang ia tanam, masih dua rupanya
‘’ Lemparkan
satu ke mulutku Putih.’’
Dilemparlah
anggur itu kedalam mulut sang ikan
Berubahlah
seketika ia menjadi manusia
Lebur sudah
rindu antara Bibi dan Pangeran
Dalam peluk
teringatlah ia dengan Sang Ibu
‘’ Mari saya
antar tuan.’’, senyum Bibi Sumbi
Sesampainya di
tempat, Pangeran sontak bersujud menangis di kaki Ibunda
Air mata yang
menetes mengenai kulit buruk rupa
Mengubahnya
menjadi sedia kala, lengkap sudah
Namun, ada satu
lagi, merpati putih rupanya berada di teras gubuk
‘’ Putih
berikan sisa anggurmu pada merpati
itu.’’. perintah Ibu Pangeran
‘’ Untuk apa
?’’, tak mengerti
‘’ Sudahlah
berikan.’’
Setelah anggur
tertelan tampaklah wujud asli merpati
‘’ Ibu’’, teriak
Putih berlari memeluknya
‘’ Ini semua
karena ibu tirimu Putih ‘’
‘’ Sudahlah
lupakan,’’, jawabnya maklum
Pulang mereka ke
rumah Sang Lurah
Di sana Merah
dan Ibunya tertawa bahagia dengan harta
‘’ Apa yang kamu
lakukan di sinii ? Pergi kalian dari rumahku !’’, amarah Pangeran
‘’ Siapa kamu,
berani sekali dirimu pada kami ?’’
‘’ Masih
ingatkah kamu dengan katak malam itu ? Akulah katak yang kau pukul !’’
Kaget mereka
dengan ucapan itu
Ditambah
kehandiran Putih dan Ibunya
Lurah keluar
mendengar keributan
‘’ Tuan, anggur
itu Putih yang mrnanam bukan Merah, saya yang memberikan bujinya pada Putih. Mereka
selalu jahat pada Putih, juga membuat Ibunya menjadi merpati hingga ia terpisah
dari Ibunya.’’
‘’ Benar ayah,
dia juga pernah memukulku.’’
‘’ Apa benar itu
?’’. tanya Lurah
Merah dan ibunya
ketakutan
Maaf keluar dari
mulut mereka berdua
Lurah menjadikan
mereka pengurus kuda sepanjang sisa hidup
Kini Sang Lurah
senang keluarganya kembali utuh
Sedang Putih dan
Ibunya diangkat menjadi saudara
Yang kelak anak
mereka akan menikah
Dan hidup
bahagia
0 comments :
Post a Comment